13 Jun 2016

Gusdurian Malang Menebar Perdamaian di Bulan Ramadhan

1

Bulan Puasa Ramadhan yang secara umum dijalani oleh mayoritas muslim seantero dunia, secara khusus bisa dimaknai sebagai ibadah ritual untuk menahan lapar dari terbitnya fajar (shubuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib) sekaligus menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya.

Namun, jika digali lebih luas dan mendalam tentang makna puasa (ramadhan) ini bisa pahami juga untuk terus memperkokoh ibadah sosial, yakni semangat kemanusiaan dan kebangsaan.

Seperti yang dilakukan oleh para pengagum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyebut dirinya sebagai Komunitas Gusdurian di Kota Malang, pada "Bulan Suci" Ramadhan tahun 2016 ini mereka melakukan kegiatan Safari Damai dengan mengunjungi berbagai komunitas Lintas Iman.

Ada makna toleransi, perdamaian, kemanusiaan serta kebangsaan yang bisa kami dapat dari melakukan kegiatan seperti ini dari sumbernya langsung, yakni tokoh dari masing-masing Lintas Iman yang akan kami kunjungi. ujar Amri selaku ketua kegiatan Safari Damai Gusdurian

Sebagaimana dikutip langsung dari website http://www.gusdurianmalang.net/2016/06/ramadhan-2016-gusdurian-adakan-safari.html rencananya agenda Safari Damai Ramadhan ini di mulai tanggal 13 sampai 24 Juni 2016, dimana terakhir nanti para peserta Safari ini akan "Nyekar" ke Pesarean Gus Dur dan berdisksusi dengan Komunitas Gusdurian di Jombang, Jawa Timur. Sebelumnya kegiatan ini akan berkeliling ke berbagai tempat di Kota Malang seperti, Syiah, Katholik, Bahai, Budha, Pondok Pesantren, Hindhu, Jemaat Ahmdiyah dan komunitas Kejawen Boworoso.

23 Mei 2016

Gusdurian, Komunitas Penjaga Pemikiran Gus Dur

0

Ngaji Pluralisme Ajak Agama Lain

Momentum bulan Ramadan dimanfaatkan para pemuda yang tergabung dalam komunitas Gusdurian mengkaji pemikiran-pemikian mantan Presiden RI (alm) KH Abdurrachman Wahid. ’Pengajian’ itu tak hanya diikuti umat Islam, tapi juga dari berbagai agama. Sepanjang Juni ini, setidaknya lima kegiatan digelar dalam bentuk diskusi kritis.

Seperti kemarin (20/6), jelang buka puasa, bertempat di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang (UM), segenap anggota Gusdurian dan juga peserta diskusi dari berbagai universitas di Malang tampak asyik mengikuti kegiatan Santap Gagasan yang mengangkat tema Menguak Ideologi di Balik Fatwa: Kasus MUI, Muhammadiyah, dan NU.

Sebelumnya, pada Selasa (9/6), Gusdurian Malang mendapatkan tamu dari milis gerakan social change.org Dhenok Pratiwi. Bertempat di Kedai Kopi Tjangkir13, mereka mengupas tuntas mengenai kampanye online, petisi, juga gerakan-gerakan perubahan yang mungkin diwujudkan melalui kekuatan jaringan. Dilanjutkan pada Kamis (11/6), bekerja sama dengan Psyconews, Gusdurian Malang me-launching komik terbaru Aji Prasetyo, salah satu penggerak Gusdurian Malang. Bertempat di Aula Fakultas Psikologi UIN Malang, komik berjudul Teroris Visual itu tak hanya dinikmati ceritanya, tetapi juga diuraikan mengenai kritik sosial yang ingin disampaikan. Hari berikutnya Jumat (12/6), Gusdurian kembali mengadakan diskusi tokoh. Mengangkat tema Keislaman dan Keindonesiaan Gus Dur, acara dilangsungkan di Wisma Kalimetro, Merjosari.

Tak berhenti di situ, pertengahan Ramadan ini, Gusdurian akan turut andil dalam kegiatan OBOR 2. Sebuah parade dialog lintas iman yang dilangsungkan selama lima hari berturut-turut. Mengangkat tema Kalau Nggak Kenal, Gimana Bisa Damai?, dialog tersebut dilangsungkan di empat lokasi.

Diungkapkan koordinator Gusdurian Muda Malang Fauzan, kegiatan berlangsung mulai 29 Juni hingga 3 Juli mendatang. ”Lokasinya di Kecamatan Donomulyo, Pesantren Gasek, Kecamatan Wagir, dan Desa Boro,” urai dia.

Keempat lokasi tersebut dipilih karena memiliki basis keagamaan yang berbeda. Seperti di Donomulyo yang banyak penduduknya memeluk agama Kristen, begitu pula di Kecamatan Wagir dengan warga beragama Hindu, dan di Desa Boro yang banyak penduduknya memeluk agama Buddha.

Ya, komunitas ini memang banyak bergerak mengangkat isu pluralisme. Sebab, pluralisme merupakan satu perwujudan dari sembilan nilai yang menjadi perhatian utama Gus Dur. Yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, serta kesederhanaan, sikap kesatria, dan kearifan tradisi. Diungkapkan salah satu penggerak Gusdurian Malang Dr Mohammad Mahpur MSi, komunitas ini memfokuskan sinergi kerja nonpolitik praktis (politik kepartaian) pada dimensi-dimensi yang telah ditekuni Gus Dur. ”Meliputi empat dimensi besar, yakni Islam dan kaitannya dengan keimanan, kultural, negara, serta kemanusiaan,” tutur dosen Fakultas Psikologi UIN Malang tersebut.

Gusdurian berusaha agar nilai, pemikiran, dan perjuangan Gus Dur tetap hidup. ”Saat ini yang sudah cukup solid terbentuk di Malang adalah jaringan lintas agama dan jaringan budaya,” terang dia. Selain diskusi, banyak kegiatan yang telah dilakukan, di antaranya adalah mengadakan buka bersama dengan beberapa panti asuhan, mengadakan kunjungan dan dialog di gereja dan ruang publik, serta merancang sebuah buku yang berisi kumpulan pemikiran pemuda tentang perdamaian.

Contoh kegiatan yang melibatkan unsur lintas agama, adalah perayaan haul atau peringatan kematian Gus Dur. Jika haul kiai atau ulama biasanya digelar di pondok pesantren atau di masjid. Namun, khusus untuk haul Gus Dur di Kota Malang, peringatannya digelar di Gereja Katedral Katolik Santa Maria Ijen,  pada 5 Januari lalu. Dalam peringatan haul kelima tersebut, tokoh-tokoh lintas agama dari Gusdurian Malang, Pemuda Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Pemuda Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) menggelar acara bertajuk Mendoakan Gus Dur, Mendoakan Indonesia. ”Acara itu juga melibatkan pemuda-pemudi lintas agama mulai dari agama Islam, Hindu, Protestan, Katolik, Khonghucu, Buddha, dan juga ada Kejawen. Juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dari berbagai daerah di Indonesia,” papar Mahpur.

Gusdurian juga terlibat dalam aksi perdamaian seperti yang digelar di eks Bioskop Kelud pada akhir Januari lalu. ”Terbaru, kami mengadakan diskusi tentang Islamisme, Indonesianisme, dan Internasionalisme Gus Dur di Wisma Kalimetro, 12 Juni lalu,” terangnya. Keberadaan Gusdurian di Malang ini sudah menyebar dan melibatkan mahasiswa dari berbagai universitas. Di antaranya Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Ma Chung, dan lain-lain. ”Selama masih terus berkegiatan, berarti anak muda Malang masih peduli untuk menghidupkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, terutama dalam hal perdamaian, toleransi, dan pluralitas,” pungkas dia.

Sementara itu, tentang pembentukan Gusdurian sendiri berawal dari sekelompok pemuda dengan inisiasi dari keluarga dan sahabat Gus Dur, di antaranya putri pertama Gus Dur Alissa Qotrunnada atau yang akrab disapa Alissa Wahid, 30 Juni 2010 bersepakat membentuk Komunitas Gusdurian di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Diungkapkan penggerak Gusdurian Malang Anas Ahimsa, komunitas ini diperuntukkan untuk melestarikan dan meneruskan pemikiran Gus Dur. ”Kepergian Gus Dur oleh banyak pengikutnya dinilai masih menyisakan ide-ide dan perjuangan yang layak diteruskan,” jelas Anas.

Keberadaan Gusdurian selain sebagai wadah koordinasi, juga dijadikan sarana sinergi agar ide-ide Gus Dur dapat dilanjutkan dengan baik dan teorganisasi. ”Komunitas ini murni berbicara dan bergerak atas dasar pemikiran sosial Gus Dur nonpolitik,” tegas dia.

Gerakan tersebut meluas ke berbagai penjuru Indonesia. Setidaknya 130-an komunitas Gusdurian lokal telah dirintis hingga akhir tahun 2012. Mulai Jogjakarta, Bandung, Cirebon, Jombang, beberapa kota di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, tak ketinggalan di Malang. ”Di Malang, keberadaan Gusdurian berkembang. Muncullah GARUDA, sebuah singkatan dari Gerakan Gusdurian Muda,” urai Anas.

Berbasis mahasiswa dan aktivis-aktivis muda, Garuda menjadi komunitas kultural yang bergerak di bidang kajian dalam bingkai spirit pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang berbasis di Kota Malang. Terbentuk pada 2011 lalu, diinisiasi oleh para pemuda dalam forum cangkrukan warung kopi, dengan modal semangat yang sama untuk belajar menelaah pemikiran Gus Dur, meneruskan serta meneladani perjuangannya. (lil/c2/abm)


Gus Dur sebagai Perspektif

0

Sudah enam tahun KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan bangsa Indonesia dan kita semua. Sebelum wafatnya, Gus Dur berpesan bahwa beliau “tidak pergi, tapi pulang”. Dalam hal ini, Gus Dur sebenarnya tidak pernah meninggalkan kita, tapi pulang ke rumah asalinya. Gus Dur masih terasa hadir mendampingi warga Indonesia, warga yang ia cintai. Tidak sebatas warga muslim, namun juga seluruh warga negara, tanpa sekat agama dan etnis. Gus Dur menjadi manusia yang selalu memberi kontribusi bagi kerja-kerja kemanusiaan. Bahkan, ide-ide dan kebijakan konseptualnya, berdampak secara positif bagi perbaikan kualitas kemanusiaan di pelbagai belahan dunia.

Membaca pemikiran Gus Dur adalah membaca ide-ide kemanusiaan dan cita-cita keindonesiaan. Meski Gus Dur lahir dan besar dari rahim pendidikan pesantren, akan tetapi spirit dan perjuangannya menaungi lintas batas kelompok. Sisi kemanusiaan Gus Dur menyentuh warga Tionghoa, Aceh, Papua dan penganut Ahmadiyah. Gus Dur tidak sekedar tampil sebagai pemimpin bangsa, ia juga menjadi keluarga dari kelompok-kelompok minoritas di negeri ini. Dari titik inilah, warga negeri ini perlu mengaji lagi dari Gus Dur, mengambil saripati ide-idenya, dan kemudian mengeksekusi dalam konteks masa kini.

Pemikiran-pemikiran Gus Dur seringkali tidak mampu ditangkap oleh publik negeri ini. Ide-ide kritisnya, dianggap kontroversial dan menjadi bahan perdebatan. ‘Jurus Mabuk’ ala Gus Dur menjadi cibiran di tengah dinamika politik pada akhir periode Orde Baru dan awal masa reformasi. Pada akhir 1980-an, strategi zig-zag Gus Dur dengan merangkul kelompok militer dan intelijen pendukung Orde Baru, senantiasa dipahami lapis demi lapisnya pada masa sekarang ini. Langkah Gus Dur pada masa itu mengundang cibiran, dengan merangkul Benny Moerdani, jaringan Ali Moertopo, juga keluaga Cendana. Akan tetapi, sekarang ini, langkah Gus Dur ini dipahami sebagai jurus strategis untuk meredam konflik horizontal di negeri ini. 

Langkah-langkah cerdas dalam menempa diri dan proses kreatif Gus Dur perlu dipahami, tidak hanya ketika dirinya sudah muncul sebagai pemimpin negeri ini. Akan tetapi, memahami Gus Dur perlu memahami warisan ingatan dan pesan kemanusiaan dari kakek, ayahanda, ibu dan keluarga terdekatnya. Jaringan pertemanan Gus Dur dengan aktifis dan pemikir lintas kelompok penting sebagai basis nilai dan wawasan. Serta, siapa saja guru-guru Gus Dur, baik di pesantren, kampus maupun koleganya di LSM. Dengan demikian, membaca Gus Dur perlu proses hidupnya, bahkan sejak tahun 1960an. 

Pada tahun 1980, Gus Dur sudah menulis ‘Memberi Jalan bagi Orang Tionghoa’ di sebuah media. Dari tulisan ini, terlihat Gus Dur memahami detak jantung dan ekspresi kebudayaan orang Tionghoa, yang terhimpit oleh kebijakan politik kolonial dan Orde Baru. Langkah visioner Gus Dur dalam memahami sejarah, konteks kebudayaan, peta ideologi-politik, menjadi landasan untuk menentukan visi perjuangannya. Perspektif Gus Dur lebih kaya dan mendalam, karena ditopang oleh penguasan pengetahuan dan intuisi yang tajam. 

Meneladani Gus Dur, secara strategis adalah menggunakan perspektifnya, sebagai kacamata untuk melihat Indonesia masa lalu, kini dan mendatang. Perspektif Gus Dur, dengan pelbagai spektrum keilmuannya, akan menuntun bangsa ini menemukan cahaya di tengah situasi yang gelap[].


Penulis: Munawir Aziz, editor dan peneliti. Twitter: @MunawirAziz

Pemikiran Politik Gus Dur

0

Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols[1]. Berbagai macam simbol atau peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular (Al-Zastrouw, 1999: 32).
  
Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia, semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.

Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.

Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya, keinginan sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara dikarenakan Islam sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri, agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam kehidupan.

Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.

Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur lebih mencita-citakan “RepublikBumi” yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L Santoso, 193-199).

Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh Fahrurroji M Bukhori(2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi secara proporsional.

Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat, dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya (Fahrurroji M B, 2003 : 107-114). 

Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur (2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.

Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004, karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada perkembangan  selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Adaketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.

Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep interaksi kontemporer dari ErvingGoffman dalam The Presentational of Selfin Every Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politikGus Dur sebagai trik seorang aktor sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004: 50-55).

Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian “menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu” bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam keadaan ketertindasan politik.    


[1] Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.




21 Mei 2016

Ngguyu bareng Presiden Gus Dur

0

Wartaislami.Com ~ Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bercerita asistennya yang bertugas di Istana Negara berlatarbelakang anggota TNI Angkatan Laut. Namun, belakangan diketahui ia tidak bisa berenang.
Dia sering digoda dan diusili oleh para ajudan Presiden. Ada saja keusilan yang membuatnya kebat-kebit dag-dug-dug di hadapan Gus Dur. Teman-temannya pun makin senang mengerjainya.

"Lapor Pak Presiden, ini lho ajudan bapak, masak TNI Angkatan Laut kok nggak bisa berenang?" kata mereka pada Gus Dur.
Otomatis saja, ajudan TNI AL tersebut langsung tegang, melotot, tak menyangka bila ada yang bertindak nekat lapor hal-hal sensitif
Presiden Gus Dur malah merespons dengan nada datar-datar saja. Gus Dur menjawab, "Lha itu, ada dari Angkatan Udara juga nggak bisa terbang kok!"
Dan orang-orang yang ada di sekitar Gus Dur tertawa terbahak-bahak dengan cerita itu. Sumber crita Gus Mesir via Ust. Abdu L Wahab.
Sumber: http://bit.ly/1NE5SeB

15 Mei 2016

Politik "Humor" Gus Dur

0

Seorang pejabat tinggi, sebut saja si Fulan, merasa deg-degan dicap sebagai koruptor oleh Gus Dur. Sebab, Gus Dur mengatakan bahwa perbuatan tertentu yang dilakukan si Fulan tak bisa lain kecuali diartikan korupsi. “Dibolak-balik bagaimanapun, itu adalah korupsi. Titik,” kata Gus Dur.

Mungkin atas permintaan si Fulan atau diimbau orang lain, salah seorang yang dekat dengan Gus Dur meminta agar Gus Dur tak lagi menyerang si Fulan, apalagi dengan tuduhan korupsi. Si Fulan dalam kasus itu sama sekali tak melakukan korupsi, melainkan sekadar meneruskan secara resmi sebuah permohonan. Apalagi, ada yang memalsukan susbtansi persoalannya.

Gus Dur pun setuju untuk tak lagi mengatakan si Fulan korupsi Tetapi besoknya, Gus Dur bilang si Fulan itu tergolong teroris karena ikut mendalangi beberapa kerusuhan. Ketika ditanya mengapa masih menyerang si Fulan, padahal sudah menyatakan tak akan menyerangnya lagi, Gus Dur pun menjawab bahwa dirinya sudah memenuhi janji untuk tidak lagi mengatakan si Fulan korupsi.

Saya tadi kan tak bilang dia korupsi, saya hanya bilang teroris, jawabnya enteng. 

*********

Cerita tersebut menunjukkan kelihaian Gus Dur melakukan serangan politik sambil berkelit dengan mengundang senyum geli. Serangan atau kelitan poitik Gus Dur kerap mengundang tawa geli karena selain sangat keras juga lucu. Dia memang dikenal sebagai penyaji humor politik tingkat tinggi.


Kita masih ingat humor politik Gus Dur yang dilempar kepada Presiden Kuba Fidel Castro. Ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Kuba, Gus Dur memancing tawa saat menyelingi pembicaraannya dengan Castro bahwa semua presiden Indonesia punya penyakit gila. Presiden pertama Bung Karno gila wanita, presiden kedua

Soeharto gila harta, presiden ketiga Habibie benar-benar gila alias gila beneran, sedangkan Gus Dur sendiri sebagai presiden keempat sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila.

Sebelum tawa Castro reda, Gus Dur langsung bertanya. “Yang Mulia Presiden Castro termasuk yang mana?” Castro menjawab sambil tetap tertawa, “Saya termasuk yang ketiga dan keempat.”

Apa selesai sampai di situ ? Tidak. Ketika mengunjungi Habibie di Jerman, oleh orang dekat Habibie Gus Dur diminta mengulangi cerita lucunya dengan Castro itu. Merasa tak enak untuk menyebut Habibie benar-benar gila atau gila beneran, Gus Dur memodifikasi cerita tersebut. Kepada Habibie, dia mengatakan, dirinya bercerita kepada Castro bahwa presiden Indonesia hebat-hebat.

Kata Gus Dur, Presiden Soekarno negarawan, Presiden Soeharto seorang hartawan, Presiden Habibie ilmuwan, sedangkan Gus Dur wisatawan. Selain menghindari menyebut Habibie benar-benar gila, jawaban itu sekaligus merupakan jawaban Gus Dur yang bersahabat atas kritik bahwa dirinya sebagai presiden banyak pergi ke luar negeri seperti berwisata saja.

Gus Dur memang sangat humoris. Bahkan, pelawak-pelawak Srimulat jadi kelabakan jika beradu lucu dengan Gus Dur. Suatu saat, Tarzan Srimulat dan kawan-kawan mengaku kehabisan bahan untuk melucu karena acaranya didahului dengan sambutan Gus Dur yang sangat lucu. Dalam melucu, Gus Dur tak jarang memulai dengan menertawai dirinya sendiri sehingga orang lain tak tersinggung.

Ketika berceramah di depan kerumunan massa, misalnya, Gus Dur mengajak massa untuk membaca salawat bersama-sama dengan suara keras. Setelah itu, dia mengatakan, selain mencari pahala, ajakan membaca salawat tersebut adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang hadir.

“Dengan lantunan salawat tadi, saya jadi tahu berapa banyak yang hadir di sini. Habis, saya tak bisa melihat. Jadi, untuk tahu besarnya yang hadir, ya dari suara salawat saja,” jelasnya.

Tapi, humor dan kelitan Gus Dur bukan sekadar lucu-lucuan. Ketika pada 1998/1999 terjadi kontroversi panas mengenai wacana negara kesatuan dan negara federal, Gus Dur menawarkan solusi agak lucu tetapi mengena. Ketika itu, Amien Rais dengan bendera PAN mengajak kita berwacana atau memikirkan kemungkinan Indonesia menjadi negara federal. Menurut Amien, negara federal bisa lebih demokratis diterapkan di negara sebesar Indonesia.

Ajakan itu kontan mendapat tanggapan panas, misalnya, dari Akbar Tandjung (Golkar) dan Megawati (PDIP). Amien diserang habis karena dianggap mau merusak keutuhan dan persatuan bangsa dan negara.

Ketika ditanya soal kontroversi itu, Gus Dur mengatakan, negara federal baik karena menjamin lebih demokratis, sedangkan negara kesatuan baik karena lebih menjamin keutuhan bangsa.

“Kalau saya begini saja, namanya tetap negara kesatuan, tapi isinya pakai negara federal. Gitu saja kok repot,” kata Gus Dur dalam wawancara eksklusif dengan RCTI.


Oleh : 
Moh. Mahfud M.D.


Kewalian & Gus Durian

0

Inikah yang disebut impian menjadi kenyataan? Di masa hidupnya, Gus Dur sudah disebut wali oleh sementara kalangan kaum nahdliyin. 

Tapi yang disebut “sementara” ini jumlahnya berjuta-juta orang dan yang berjuta-juta ini pengaruh sosialpolitiknya tidak kecil. Kita tahu media nasional sangat terpengaruh. Ini boleh jadi karena mereka percaya Gus Dur memang wali sehingga media menyiarkannya bukan sekadar di kalangan kaum nahdliyin, melainkan di seluruh Indonesia. Media nasional “menyanyikan” lagu kewalian Gus Dur.

Kemudian media daerah mengikutinya. Ada orang-orang media yang mungkin skeptis, bahkan tak percaya Gus Dur wali, tapi mereka menyiarkannya juga karena fenomena kewalian itu jelas “laku” sekali dijual. Ada momen-momen penting pada tahun 1990-an dulu ketika ibaratnya Gus Dur terbatuk-batuk atau dehem-dehem pun menjadi berita penting dan diulas panjang lebar di media.

Dalam tiap kali muktamar NU Gus Dur menjadi pusat perhatian seluruh media. Kita ingat beliau disebut news maker. Berita apa pun, kalau Gus Dur sumbernya, dianggap penting. Dalam tiap muktamar itu, ketika Gus Dur berdiri dari kursinya dan sekadar mau ke belakang pun para insan pers yang duduk berkelompok di suatu tempat dengan sigap segera berdiri untuk dahulu-mendahului agar bisa mengajukan suatu pertanyaan penting.

Padahal bisa jadi saat itu Gus Dur betulbetul hanya ke belakang dan tak mungkin memberikan suatu wawancara. Gus Dur seorang wali resminya wali Allah diterima luas pula di kalangan media yang bukan komunitas kaum nahdliyin. Apalagi kalau di dalam media itu ada warga kaum nahdliyin yang menjadi wartawan.

Otomatis dia atau mereka akan tampil paling gigih untuk tiap kali mengulas dalam berita atau esai mereka tentang kewalian Gus Dur. Meski begitu, banyak di antara kawan-kawan Gus Dur sendiri, terutama dari kalangan Muhammadiyah atau punya tetesan darah Masyumi, sangat tak percaya pada apa yang mereka anggap “tahayul” belaka atau lelucon tak menarik itu. Almarhum Utomo Dananjaya salah satucontohnya.

Almarhum Muslim Abdurahman juga menganggapnya lelucon belaka. Lalu Gus Dur pun wafat pada tanggal 30 Desember tahun 2010. Jutaan umat NU, ditambah Muhammadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan komunitaskomunitas lain, tumplekblek di Jombang, mengantarkannya ke tempat pemakaman dan menunjukkan dengan tulus penghormatan terakhir mereka kepada beliau.

Pada saat itulah secara mengejutkan kedudukan beliau sebagai wali ke-10 dikukuhkan. Tentu saja tak seorang pun menjadi panitia pengukuhan itu. Kita hanya tahu mobil demi mobil, beribu-ribu banyaknya, ditempeli tulisan Gus Dur wali ke-10. Kita tidak tahu psikologi kaum nahdliyin.

Kita belum tahu bagaimana sebetulnya penghormatan kaum nahdliyin kepada Gus Dur. Dan pada hari pemakaman beliau itulah kita tahu betapa tulus sikap hormat mereka kepada beliau. Saya sendiri, di tengah kerumunan itu, merasa ada kejutan besar yang mengguncang jiwa; menjadi sebuah kesimpulan bahwa Gus Dur yang sudah dimahkotai kewalian di masa hidupnya kini mahkotanya itu dikukuhkan dengan resepsi besar-besaran di saat kematiannya.

Dengan merinding saya menafsirkan, tampaknya kewaliannya bukan lelucon, melainkan anugerah “duniaakhirat” yang tak perlu dipertanyakan, tak perlu diragukan. Di masa duka itu, tak mungkin ada rekayasa. Siapa orangnya yang siap dengan sebuah rekayasa untuk sebuah kematian yang datang mendadak. Siapa yang, diantaraorang-orang yang hidup dalam dunia rohani itu, siap membuat kebohongan dalam masa duka mendalam seperti itu?

Tak ada komando mewalikan Gus Dur. Jika hal itu ada, tampaknya dari langit datangnya. Pada hari itu, kewalian duniawinya dikukuhkan menjadi kewalian dunia-akhirat. Kita dibuat mengerti, beliau bukan sekadar pahlawan nasional. Kepahlawanan bukan apa-apa dibandingkan dengan kewalian. Ada wartawan sebuah televisi yang begitu mentah pendapatnya ketika siarannya membahas isu politik bahwa Gus Dur diusulkan menjadi pahlawan nasional.

Dia membandingkan Gus Dur dengan Pak Harto. Dia bilang Pak Harto belum dijadikan pahlawan, padahal berjasa, sedangkan Gus Dur, yang dilengserkan, malah dicalonkan sebagai pahlawan. Dia sama sekali tak tahu persoalan. Gus Dur dicalonkan sebagai pahlawan nasional atas kapasitas pribadinya dan tidak ada hubungan dengan kepresidenan. Sebagai pribadi Gus Dur sangat besar. 

Orang bilang Gus Dur itu larger than life. Jadi, kalau toh beliau dijadikan pahlawan nasional, apa gunanya kepahlawanan dibandingkan, sekali lagi, kewalian tadi? Dawam Rahardjo, yang hampir tak pernah akur dengan Gus Dur, pada akhirnya, entah mengapa, percaya betul Gus Dur itu wali.
Mungkin beliau melihat dengan hati, sedangkan dua teman yang disebut di atas menganggap kewalian Gus Dur sebagai lelucon, mungkin, lebih karena mereka melihatnya dengan pikiran rasional. Tapi pengakuan atau penolakan sementara kalangan kelihatannya tak begitu penting dibandingkan gegap gempitanya penerimaan komunitas kaum nahdliyin yang begitu besar.

Selebihnya, saya kira bangsa kita memang membutuhkan sekali sesuatu yang dapat dijadikan sejenis “pujaan” hati seperti kewalian tadi. Fenomena ziarah kubur ke makam wali-wali membuktikan itu. “Menggilanya” kunjungan ke makan Gus Dur, yang hingga kini tetap membanjir, jelas membuktikan bahwa bangsa kita ini haus akan rohani.

Ini untuk menenteramkan hati yang dirusak oleh ekonomi kapitalistik yang serakah dan kejam, dan oleh politik, dengan segenap watak korup di kalangan pejabat partai maupun birokrasi yang membuat hancur kepercayaan kita atas apa yang mulia, agung, dan luhur di dalam hidup ini. Ketika masih hidup, Gus Dur mengobati jiwa masyarakat dengan berbagai sikap dan pandangan politik yang mengayomi.

Sesudah wafat, beliau masih juga tampil dengan kewaliannya dan menyiram kehausan maupun kekeringan rohani bangsa kita. Saya kira ini penting menjadi perhatian kaum muda yang tergabung di dalam “Gus Durian”. Mereka pengagum dan pengikut Gus Dur yang setia, bukan dengan kesetiaan buta, bukan dengan sikap taklid, tapi dengan rasio yang sehat wal-afiat. Tiap saat mereka berkumpul dan mengingat kembali kemuliaan Gus Dur.

Di Wisma Makara, Depok, belum lama ini mereka menyelenggarakan simposium. Apa yang penting di sana? Dalam forum kebudayaan, saya usulkan agar Gus Dur tidak dijadikan mitos. Dipuji baik sekali. Tapi dipuja apalagi dipujapuja buruknya bukan main. Jadi jangan lakukan itu.

Sebaliknya, gagasan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam hendaknya dirumuskan sebagai suatu teori dan pemikiran kebudayaan, yang akan mengukuhkan gagasan itu pada tingkat tindakan-tindakan, bukan berhenti sebagai hafalan teologis yang bertakhta di alam kesadaran yang tak tersentuh. Kaum muda Gus Durian banyak yang hebat dan memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Niscaya mereka bisa mewujudkan proses teoretisasi tadi.

Mungkin hal itu tidak mudah, tapi itu jawaban yang kita butuhkan sekaligus untuk menghindarkan diri dari pemitosan kewalian Gus Dur. Kita tahu, menjadi wali mungkin beliau senang. Tapi menjadi dongeng dalam mitologi bagi dirinya sendiri mungkin tidak.?


Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com 





GUS DUR & Le Petit Prince

0

Salah satu karya sastra besar yang pernah lahir di muka bumi adalah Le Petit Prince (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Pangeran Cilik). Novel tipis itu dibuka dengan pembukaan yang apik dan menggelitik. Tokoh ‘aku’ pada umur enam tahun terpukau dengan sebuah gambar yang ia lihat di buku tentang alam rimba: gambar seekor sanca menelan seekor hewan buas.
 *********
Terinspirasi gambar itu, ia pun tergerak untuk menggambar sesuatu. Gambar itu lantas ia tunjukkan kepada orang-orang dewasa. Mereka mengira itu gambar topi. Karena memang mirip betul dengan topi koboi. Tapi kata si anak: itu bukan topi, itu gambar ular sanca menelan seekor gajah.
Sepanjang novel memikat ini, kita disuguhi humor-humor segar khas anak kecil. Salah satu hal menarik yang dapat kita petik setelah membaca novel Pangeran Cilik adalah perkara sudut pandang, tentang bagaimana sesuatu dilihat. Dan mungkin kita akan mengingat kembali almarhum Gus Dur. 
Guru Bangsa yang humoris itu memang memberi kita banyak pelajaran soal sudut pandang. Salah satu yang paling mudah diingat adalah ujaran Gus Dur soal DPR. Dengan enteng beliau bilang DPR itu tak ubahnya taman kanak-kanak. 

Ya, secara kasat mata, anggota dewan adalah orang-orang terhormat. Berpakaian necis, berjas, berdasi, bergaji tinggi dan menjadi wakil dari rakyat Indonesia. Alangkah kere, betapa hebat. Tapi, dengan sudut pandang lain Gus Dur bilang mereka seperti anak-anak TK. Ternyata benar, mereka yang minta dipanggil dengan sebutan yang mulia itu berisik sekali, manja, cengeng, suka cari perhatian khas anak TK. Terbukti, Gus Dur memang punya sudut pandang yang anti-mainstream, out of the box dan selalu mengena. 

Cara padang nyleneh macam itu juga ditunjukkan Gus Dur ketika ia harus meninggalkan istana dan menanggalkan jabatan presiden. Ia dengan santai memakai celana pendek dan kaos oblong di depan istana sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Kiranya tak pernah ada presiden ‘segokil’ itu di dunia ini. Dan jika dilihat lebih dalam, Gus Dur seperti ingin mengirim pesan kepada kita semua: tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian. Juga sejatinya istana presiden adalah istana rakyat, sehingga bercelana pendek dan berkaos oblong tak perlu dilihat dengan tatapan heran dan aneh.
Kisah-kisah mengenai bagaimana cara pandang Gus Dur yang asyik tentang pelbagai persoalan tentu tak ada habisnya dikisahkan. Yang perlu kita tanyakan kemudian adalah mengapa cara pandang yang moderat, jalan tengah, penuh perdamaian dan memiliki keberpihakan yang jelas serupa itu makin terkikis akhir-akhir ini? Di masyarakat kita hari ini, justru subur cara memandang suatu persoalan dengan pandangan yang sempit. Sehingga banyak orang dengan mudah bilang: muslim mengucapan selatan Natal haram, terompet juga haram karena termasuk alat musik Yahudi, dan ungkapan-ungkapan menyedihkan lain.
Kita tentu miris melihat kenyataan itu. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa mereka tidak melihat ucapan selamat Natal dari seorang muslim sebagai bentuk persaudaraan? Mengapa mereka yang Kristen dianggap sebagai ‘orang lain’ dan bahkan musuh hanya lantara mereka ‘berbeda’? Mengapa orang-orang menjadi menyebalkan, sebagaimana di novel Pangeran Cilik, yang melihat gambar ‘ular sanca menelan gajah’ sebagai gambar ‘topi’ belaka? Benarkah mereka terjangkit penyakit malas berpikir dan keras kepala?

Laku beragama dengan sudut pandang yang tak luas sebetulnya mengkhawatirkan. Intelektual muslim, Abdul Munir Mulkhan, menengarai, mereka yang berpaham radikal (dan pelaku teror) cenderung memiliki cara pandang hitam putih.  Menurutnya, bagi pelaku tidak kekerasan dengan dalih berjihad, hanya tersedia dua pilihan: hidup mulia atau mati syahid (isy kariman au mut syahidan), menang menghancurkan musuh Allah atau mati masuk surga.  

Penganut teologi teror memandang semua selain diri dan kelompoknya adalah sah untuk dihancurkan, apalagi mereka yang telah menangkapi dan membunuh teman-temannya. Tidak peduli apakah mereka seagama atau beda agama. Dalam logika verbal dua muka: surga-neraka, halal-haram, setan-malaikat, benar-salah, pahala-dosa, yang terus ditanamkan, dapat mendorong masyarakat terjebak pola ‘hidup mulia atau mati syahid’. 

Ngeri sekali membayangkan orang-orang yang hanya tahu surga-neraka, halal-haram, dan pahala-dosa itu  kian hari kian bertambah banyak. Alangkah tidak menariknya jika dunia ini dipenuhi oleh mereka yang menempatkan semua selain diri dan kelompoknya sebagai musuh dan wajib diperangi. Maka, semestinya lebih banyak lagi orang-orang yang menggemakan semangat beragama ala Gus Dur. Beragama dengan santai, penuh humor, tidak kaku dan tidak kagetan. 
Abraham Zakky Zulhazmi adalah alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menulis bukuPropaganda Islam Radikal di Media Siber (Intijati, 2015). Editor di Surah e-magz


http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html